Peluang komoditas buah salak untuk ekspor sangat tinggi, namun produksi salak dari Lereng Merapi Kabupaten Magelang masih
terkendala beberapa hal yang menjadi syarat buah untuk ekspor. Sekretaris Gabungan Kelompok Tani Ngudi Luhur Desa Kaliurang Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang, Agus Suryono mengungkapkan, syarat utama yang harus dipenuhi salak untuk ekspor adalah harus adanya registrasi kebun salak.
“Registrasi kebun ini untuk syarat sertifikasi buah. Dalam registrasi ini, kebun salak harus menggunakan penanaman khusus, menggunakan pupuk organic, tidak ada penggunaan pestisida, kimia serta bahan sintetis seperti kain dan plastic dalam kebun,” terangnya. Ia mengungkapkan, ada sekitar 100 petani yang tergabung dalam Gapoktan tersebut dengan luasan lahan total 165 hektare. Dari jumlah itu, baru sekitar 94 hektare yang sudah terregistrasi. Sehingga hanya mereka yang bisa ekspor. Di luar itu, dijual untuk memenuhi kebutuhan lokal. Padahal, katanya, harga jual salak untuk ekspor lebih tinggi dari harga di pasar lokal. Salak ukuran ekspor yakni delapan hingga 16 buah perkilogramnya, dihargai Rp6.000 per kilogram untuk ekspor. Di pasaran
lokal, hanya dihargai Rp4.000.
Selain registrasi, Agus menyebutkan, kendala lain yakni transportasi yang membawa salak ke Negara tujuan. Buah salak bisa diekspor menggunakan pesawat selama dua hari atau dengan kapal laut selama lima hari. Padahal, setelah dipetik, juga membutuhkan waktu dua hari untuk pengepakan.
“Namun, hingga saat ini, belum ada transportasi khusus yang membawa ekspor salak sehingga buah hanya dimasukkan ke bagasi buah dalam pesawat penumpang. Padahal, bagasi pesawat penumpang terkadang sudah penuh dengan buah bawaan penumpang,” ujar Agus. Jika sudah demikian, maka buah ekspor akan ditunda. Padahal, salak tidak bisa lebih lama dibiarkan, sehingga jika ada yang sudah ditunda itu terpaksa dibuang ke pasar lokal di Jakarta. Hal yang sama juga akan dilakukan ketika cuaca buruk sehingga penerbangan ditunda.
Ketua Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah-buahan Indonesia (AESBI), Ir Hasan J. Widjaja mengatakan, pihaknya telah memulai ekspor buah dan sayur sejak tahun lalu. Sebagai pilot project adalah Negara Singapura. “Saat ini kebutuhan buah dan sayur impor di Singapura sebesar 1.000 ton per hari. Dari jumlah itu, Indonesia baru bisa menyumbang 6% atau sekitar 60 ton. Karenanya, peluang masih terbuka sangat besar untuk menutup 940 ton tersebut,” ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, Indonesia adalah Negara yang letaknya paling dekat dengan Singapura. AESBI menargetkan, tahun 2010 bisa menyumbang 10% dan tahun 2014 bisa 30%.
***)Widodo Anwari
Wah kabar apik ini, moga bisa terus maju dan bertambah sukses, salam untuk wong Srumbung!
BalasHapusBala Tidar
http://pendekartidar.org